|
29.07.2009 13:18:48 10868x dibaca. ARTIKEL SEKOLAH GRATIS: ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG Oleh: Bruder Frans Sugi, FIC
Pada tanggal 16 April yang lalu saya menonton pergelaran wayang kulit semalam suntuk oleh Dalang Ki Seno dari Yogyakarta di Taman Budaya Raden Saleh Semarang: gratis, artinya tidak dipungut biaya sepeser pun. Saya boleh memilih duduk di kursi atau mau lesehan di tikar yang telah disediakan oleh penyelenggara. Itulah gratis, sungguh tidak dibebani apapun.
Pada saat kampanye pemilihan gubernur di suatu provinsi beberapa waktu yang lalu, ada salah satu spanduk- spanduk yang terpampang di jalan-jalan raya berbunyi,”Pilih Si Badu...berarti Pendidikan Dasar Gratis.” Membaca kain rentang tersebut serta-merta terbersit pengertian bahwa pada waktu orangtua memasukkan anaknya ke SD atau SMP orangtua anak tersebut tidak akan dibebani dengan segala macam pembiayaan selama di sekolah. Benarkah ada sekolah gratis?
Ide Sekolah Gratis dan Subsidi Pendidikan
Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menyatakan bahwa mulai tahun 2009, semua Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional dan pungutan lainnya. Alasannya: Pemerintah telah meningkatkan kesejahteraan gur u dan menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Hal ini selalu diulang-ulang juga dalam tayangan iklan lewat salah satu stasiun TV Swasta bahwa “Pendidikan gratis mesti bisa!” Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi sekolah-sekolah berstandar internasional (SBI), dan rintisan SBI Negeri. Mendengar ide pendidikan gratis pada mulanya ditanggapi sangat positif oleh masyarakat. Masyarakat sangat optimis berharap untuk sungguh diringankan bebannya dalam menyekolahkan anak- anaknya.
Mendiknas dalam kesempatan berdialog dengan sekitar 400 anggota PGRI Kabupaten Temanggung dan Wonosobo beberapa waktu yang lalu mengatakan,”Sekolah gratis melalui dana BOS bukan berarti gratis tidak terbatas, sebab selain biaya operasional sekolah, siswa memerlukan biaya- biaya lainnya, seperti untuk transportasi, pakaian, dan lainnya, apalagi di perkotaan.”
Uang BOS pada kenyataannya belum cukup untuk menyelenggarakan sekolah. Oleh karenanya Pemerintah Daerah harus menambah kekurangan dana, sehingga pendidikan dasar negeri itu gratis. Dengan kata lain, BOS belum mampu mencukupi se penuhnya kebutuhan operasional sekolah. Di berbagai daerah ada bermacam reaksi terhadap kebijakan pendidikan gratis. Dari reaksi - reaksi masyarakat tampaklah bahwa ide pendidikan gratis masih belum dipahami dengan jelas dan benar oleh masyarakat.
Pendidikan gratis ditangkap bahwa siswa tidak lagi dibebani dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama. Pada kenyataannya orangtua masih dibebani dengan bermacam pungutan lainnya. Istilah gratis untuk pendidikan gratis tidaklah tepat seluruhnya. Mungkin istilah yang lebih mengena adalah subsidi, karena pada kenyataannya orangtua masih dibebani dengan bermacam pungutan ataupun iuran lainnya.
Penilaian terhadap sekolah gratis mulai bercabang. Pada awalnya, hampir semua kalangan mendukungnya tanpa reserve apa pun. Secara teoritik, sekolah gratis diwujudkan dalam bentuk pembebasan pungutan kepada orangtua murid. Untuk keperluan itu pihak sekolah mendapat jatah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Pemerintah. Namun kenyataan lapangan berbicara lain. Orangtua murid masih dibebani berbagai macam pungutan. Orangtua murid belum sepenuhnya terbebas dari biaya pendidikan anak-anak mereka di sekolah yang mendapatkan kucuran dana BOS tersebut.
Jika memang masyarakat masih dibebani oleh sejumlah iuran sekolah dan biaya-biaya tambahan lainnya, pertanyaan yang patut digulirkan adalah apakah masih tepat penggunaan istilah 'pendidikan gratis' ini? Apa sesungguhnya batasan yang tepat untuk hal ini? Dengan demikian ide atau konsep pendidikan gratis masih serba mendua!
Tantangan dan Peluang bagi Sekolah Swasta
Pendidikan gratis telah diberlakukan bagi siswa SD dan SMP di Indonesia. Hal yang perlu dijelaskan dan perlu dipahami baik-baik adalah kebijakan itu hanya berlaku bagi siswa sekolah negeri dan tidak berlaku bagi siswa sekolah swasta. Siswa sekolah berstandar internasional (SBI), meskipun sekolah negeri, juga tidak mengalami kemudahan ini.
Hal lain yang perlu dijelaskan adalah bahwa pengertian gratis tidak berlaku untuk seluruh komponen pendidikan. Meski di SD atau SMP Negeri, orangtua juga harus menanggung sebagian biaya pendidikan.
Problem lain atas kebijakan pendidikan gratis terkait dengan nasib sekolah swasta. Kebijakan ini berpotensi mematikan sekolah swasta. Sampai hatikah Pemerintah membiarkan begitu saja sekolah swasta dalam keadaan sekarat? Kiranya Pemerintah perlu mencarikan solusinya sebagai jalan keluar bagi tetap eksisnya sekolah swasta yang notabene disebut sebagai mitra pemerintah. Dapatkah Pemerintah memberikan bantuan yang sekedar meringankan beban penderitaan sekolah swasta? Misalnya dengan memberikan tenaga-tenaga kependidikan DPK. Apabila ada guru-guru yang telah mengajar di sekolah swasta dan ada kesempatan tes menjadi tenaga PNS dan diterima, mereka itu tetap ditempatkan di sekolah-sekolah tempat mereka mengajar. Hal seperti ini sudah sangat jarang terjadi. Seandainya terjadi pun harus ada 'amplop' yang menyertai permohonan dari pihak Yayasan yang membutuhkannya.
Dengan adanya kebijakan pendidikan gratis, banyak anggota masyarakat mengarahkan pendidikan anak-anaknya di SD dan SMP Negeri. Secara otomatis mereka 'meninggalkan' sekolah swasta. Jumlah siswa SD dan SMP swasta pun kian menipis karena tersedot oleh sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian banyak sekolah swasta terancam tutup dan tidak mampu beroperasi lagi.
Haruskah Pemerintah membiarkan sekolah swasta tutup? Dalam hal ini diperlukan kebijakan yang sungguh bijak dari Pemerintah. Bagaimanapun, sekolah swasta, terutama yang sudah hadir sebelum kemerdekaan, seperti Tamansiswa, Muhammadiyah, NU, Kristen, Katolik, telah menunjukkan komitmennya untuk membangun pendidikan nasional. Jika tiba-tiba mereka dibiarkan mati, rasanya kurang pas untuk ukuran budaya Indonesia. Maka, tidaklah bijak jika Pemerintah membiarkan sekolah swasta menderita.
Landasan Konstitusional
Pembukaan UUD Negara RI tahun 1945 alinea ke-4 menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan ini menyiratkan adanya kesadaran tinggi dari para pendiri negara kita bahwa pendidikan adalah elemen ter penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa. Pernyataan itu kemudian diperkuat dalam Batang Tubuh UUD RI tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pasal 31 ayat (2) Semua warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
Merujuk pada Pasal 31 ayat (1) UUD Negara RI 1945, pendidikan adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara. Pihak mana pun tidak berhak untuk mengecualikan orang lain untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan ada kewajiban bagi Pemerintah untuk membiayainya. Dengan kata lain, Pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sampai pemerintah kabupaten dan kota, har us menjamin penyelenggaraan pendidikan tanpa memungut biaya (Pasal 34 ayat 2 UU tentang Sisdiknas). Ini dapat diar tikan bahwa biaya-biaya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan ditanggung oleh negara.
Jika mengacu kepada Pasal 9 dan 34 UU tentang Sisdiknas, rumusan Pasal 31 UUD Negara RI 1945 menjadi melemah. Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai kewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (Pasal 9) dan memiliki tanggung jawab menyelenggarakan program Wajib Belajar (Pasal 34). Jelaslah bahwa ada ide kontradiksi.
Permasalahan Sekolah-sekolah Katolik
Pasang surut, berubahnya situasi atau keadaan dalam hidup di alam ini adalah hal yang biasa. Kata orang Jawa bagaikan cakra manggilingan (roda berputar); kadang kala ada bagian yang di atas, ada yang di bawah, di samping karena mengalami perputaran. Sejak lama masyarakat mengakui dan lebih dari itu mempercayai bahwa Sekolah-sekolah Katolik itu baik, bermutu. Sekolah Katolik banyak diminati orang. Bahkan Sekolah-sekolah Katolik menolak calon murid baru karena terlalu banyak peminat, sedangkan kapasitas tempat tidak mencukupi. Ini satu kenyataan dari sekian banyak hal positif dari Sekolah-Sekolah Katolik.
Persoalannya sekarang adalah masihkah seperti itu keadaannya? Ataukah sekarang ini keadaan Sekolah-sekolah Katolik sudah berubah? Jangan-jangan kita masih bangga, namun kebanggaan kita terhadap Sekolah Katolik tinggal dalam kenangan (!) Marilah kita bermenung sejenak dengan hal-hal nyata di bawah ini.
Pertama, merosotnya peminat terhadap sekolah Katolik yang sebagian mengakibatkan penutupan sekolah atau menggabungkannya dengan sekolah sejenjang terdekat. S i t u a s i d e m i k i a n b e r d a m p a k s a n g a t l u a s u n t u k keberlangsungan Sekolah Katolik. Kita tahu dan sadar bahwa biaya penyelenggaraan sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Yayasan. Yayasan mengandalkan uang dari orangtua murid. Memang di sana-sini masih ada sisa-sisa tenaga guru negeri DPK dari Pemerintah, namun jumlahnya tinggal sangat sedikit. Apabila jumlah murid merosot dengan sendirinya penerimaan uang sekolah juga mengecil. Kita tahu dan sadar bahwa penerimaan uang sekolah ini sebagai sumber vital untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah. Masih untung apabila Yayasan pengelola masih mempunyai unit- unit sekolah lainnya yang surplus, sehingga masih ada kemungkinan untuk subsidi silang. Keadaan yang tidak menggembirakan ini semakin diperburuk dengan adanya program Pemerintah yaitu Pendidikan Gratis di tingkat Pendidikan Dasar 9 tahun untuk Sekolah-sekolah Negeri. Menjadi kenyataan pula orangtua yang tahu ada pendidikan gratis akan segera dan tergesa-gesa memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah negeri yang 'gratis,' meskipun pada kenyataannya tidak akan ada sekolah gratis.
Kedua, terjadi lunturnya ciri khas yang selama ini menjadi keunggulan Sekolah-sekolah Katolik. Misalnya: sikap disiplin, muridnya pintar-pintar, ada ketegasan dari sekolah, tidak pilih kasih, muridnya rapi-rapi, warganya ramah-tamah. Lihat saja dengan adanya siswa-siswi Sekolah Katolik yang pada bergerombol membolos meninggalkan pelajaran dan jalan-jalan di mall, sebagian lagi terlibat penggunaan obat-obat terlarang, tawuran antara siswa-siswa Sekolah Katolik sendiri. Hal yang sungguh memprihatinkan sampai ada anak usia SD Katolik di bawah nama pelindung seorang santa berkelahi sampai meninggal.
Ketiga, mengikisnya semangat perhatian kepada mereka yang lemah, kecil, miskin dan tersingkirkan. Biaya pendidikan di Sekolah Katolik menjadi mahal, dan kurang terjangkau oleh kalangan umat Katolik sendiri. Berbagai keluhan kerap kita dengar dari umat Katolik,”Bagaimana mungkin kami mampu membayar uang sekolah atau uang gedung kalau jumlahnya begitu banyak!”
Keempat, terjadi kemerosotan mutu sekolah dan guru. Zaman serba akademik seperti sekarang ini orang selalu mengarahkan mata dan perhatian kepada sejauh mana mutu akademik para lulusan suatu sekolah. Lagi-lagi dulu, pada waktu ada sistem peringkat hasil ujian akhir baik tingkat nasional maupun regional, Sekolah-sekolah Katolik hampir selalu menempati urutan di peringkat papan atas. Sekarang kenyataannya juga sudah berbeda. Beberapa Sekolah Katolik memang masih menempati peringkat atas, namun toh tidak seperti pada waktu lampau. Kondisi seperti ini juga menjadi realitas yang mempengaruhi minat orang menyekolahkan anak-anaknya ke Sekolah-sekolah Katolik.
Lalu : Kita mau Apa? Apapun yang ada dan mungkin akan terjadi dengan program atau ide Sekolah Gratis, sebagai sekolah Yayasan Katolik kita mesti:
- Menjadikan dan mengusahakan Sekolah Katolik sebagai tempat anak dan remaja berkembang menjadi manusia dewasa yang mempunyai kematangan pribadi dan religiositas yang terbuka. Dengan kata lain, Sekolah Katolik sebagai tempat anak dan remaja belajar nilai- nilai kemanusiaan yang membebaskan.
- Menjalin kerja sama yang baik dengan orangtua. Guru di sekolah sebagai pendidik formal, yang melengkapi peran orangtua dari anak dan remaja sebagai pendidik pertama dan utama.
- Mengupayakan dan selalu menghidupkan semangat subsidiaritas antar sekolah. Prinsip yang kuat membantu yang lemah harus dihidupi dengan penuh syukur. Tidak pada tempatnya dan harus dihilangkan sikap hidup apa yang diperoleh oleh suatu sekolah hanya untuk sekolah itu sendiri. Di sinilah kita juga dituntut mengusahakan sikap hemat dalam menggunakan uang dan sarana- prasarana yang ada.
- Menggalang (sejauh mungkin) kesatuan antara sekolah- sekolah berjenjang dari yang paling rendah ke yang paling tinggi yang ada di lingkungan terdekat: secabang,
- a t a u s e r a n t i n g . D i s a m p i n g m e m u n g k i n k a n pendampingan kepada anak didik secara utuh, kita juga dibantu melestarikan keberadaan sekolah-sekolah kita. Merupakan keprihatinan apabila di suatu daerah (cabang atau ranting) satu jenjang sangat diminati, sedangkan jenjang lainnya sangat kekurangan murid. Dalam situasi demikian, kita mempertanyakan ada apa dengan kehadiran atau pelayanan kita di tempat tersebut.
- Menyadari bahwa keberadaan suatu unit ker ja merupakan tanggung jawab bersama seluruh staf dan guru serta karyawan. Segala bentuk perpecahan atau konflik kepentingan harus dihilangkan karena hal ini akan menghancurkan suatu unit kerja.
- Meningkatkan kerja sama dan solidaritas antara Yayasan-yayasan Pendidikan Katolik untuk semakin mampu melayani dengan lebih baik.
- Last but not least sebagai Yayasan Pangudi Luhur, kita mesti memperhatikan mereka yang miskin. Tentu saja hal ini bersumberkan pada teladan Yesus Kristus sendiri. Selama hidup-Nya, Yesus memberikan perhatian yang amat besar dan dengan penuh kemurahan hati kepada orang-orang miskin. Br. Bernardus Hoecken, Bruder FIC Pertama, selalu menekankan,'Para Bruder jangan sekali-kali melupakan orang miskin, karena mereka adalah rahmat bagi kita.”
Sebagai bahan permenungan lebih lanjut dapat juga dibaca artikel-artikel:
- Menggugat Pendidikan Gratis, J.C. Tukiman Taruna, KOMPAS, 27 April 2009
- Problema Pendidikan Gratis, Ki Supriyoko, KOMPAS, 29 Mei 2009
KOMENTAR
Belum ada komentar, silakan mengisi komentar melalui form berikut :
|