23.02.2011 04:38:11 7976x dibaca.
ARTIKEL
Percaya kepada Tuhan dan Mewujudkannya dalam Perbuatan Oleh : Bruder Martinus Handoko, FIC
Seorang anak muda bertanya kepada bapaknya, “Apakah bapak itu percaya kepada Tuhan?”
Sang bapak dengan serius sambil melotot menjawab:”Ya jelas dong, kamu kan tahu Bapak tiap hari Minggu ke gereja, dan tiap hari juga berdoa.”
Lalu anak bertanya lagi,”Apa Bapak juga pernah merasa takut dan cemas?”
Jawab si bapak tanpa pikir, “Itu sama saja jelasnya, tidak hanya pernah tetapi sering kali.”
Lalu anak muda itu terheran-heran dan berkata,”Wah, kalau begitu Bapak pasti bohong, bagaimana mungkin orang percaya kepada Tuhan masih merasa takut dan cemas?”
Sang bapak jadi terdiam hening …, dalam hati membenarkan kata-kata anak muda itu.
Dalam Kitab Suci banyak kita temukan kisah dan sabda Yesus yang menyatakan bahwa ketakutan itu berlawanan dengan kepercayaan. Orang yang takut menandakan kurangnya kepecayaan, dan sebaliknya orang yang kurang percaya akan banyak mengalami ketakutan. Ketika perahu yang ditumpangi Yesus dan para murid diserang badai hebat, para murid menjadi panik dan ketakutan sementara Yesus malah tertidur. Mereka segera membangunkan Yesus dan berkata,”Tuhan tolonglah kita binasa”.
Yesus kemudian bangun dan menjawab:”Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya” (Mt.8,25-26).
Kisah senada terjadi pada waktu Yesus berjalan di atas air untuk mendekati para murid yang berada di atas perahu. Mereka mengira itu hantu. Kemudian Yesus berkata,”Jangan takut, tenanglah, ini Aku.”
Lalu Petrus berteriak,”Jika benar Engkau Tuhan, suruhlah aku berjalan di atas air untuk datang kepada-Mu.” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air untuk mendapatkan Yesus. Ketika angin bertiup kencang Petrus menjadi takut dan hampir tenggelam, lalu berteriak,”Tuhan tolonglah aku” dan jawab Yesus:”Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau takut?” (Mt 14, 26-32).
Kita semua mengaku percaya kepada Tuhan, dan percaya bahwa Tuhan adalah yang Mahakuasa, asal dan tujuan hidup kita. Tetapi di pihak lain kita juga tidak bisa memungkiri bahwa kita masih mudah cemas, takut, dan gelisah. Hal ini membuktikan betapa masih tipis dan kecilnya iman kepercayaan kita kepada-Nya. Yesus pernah berkata,”Jika engkau mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung:: pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung itu akan pindah, dan tak ada yang mustahil bagimu.”(Mt 17,20).
Maka jika kita ingin hidup yang damai dan tenang, tidak ada cara lain kecuali memperkokoh fondasi iman kita, antara lain dengan terus- menerus merenungkan sabda Tuhan di dalam Kitab Suci dan mohon rahmat iman kepada-Nya. Jika iman kita kokoh kita laksana mendirikan rumah di atas batu karang. Meskipun banjir, angin dan badai melanda, rumah kita akan tetap berdiri tegak tak tergoncangkan (bdk. Mt. 7, 24-25).
Iman dan Perbuatan
Br. Bernardus Hoecken, pemimpin pertama Bruder-Bruder FIC, dengan tegas mengatakan, “Seorang pemimpin harus mempunyai iman yang tak tergoncangkan kepada Tuhan.”
Di tempat lain beliau mengatakan,” Kalau untuk orang biasa saja dibutuhkan kepercayaan yang kuat kepada Tuhan agar ia dapat selamat dan bahagia dalam hidupnya, apalagi bagi seorang pemimpin yang mempunyai tanggung jawab bukan saja bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi banyak orang lain” (cf Rules of Conduct art. 86).
Br Bernardus mengaitkan iman dengan tanggung jawab dan dengan perbuatan nyata, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain lebih-lebih yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi dia iman tanpa perbuatan itu sama saja dengan pohon yang tidak berbuah. Hal ini tepat seperti yang dikatakan oleh Santo Yakobus bahwa iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah iman yang kosong dan mati. (Yak 2, 14-26). Perbuatan nyata yang dimaksud pada waktu itu adalah perbuatan mencintai sesama manusia, dan untuk zaman ini telah diperluas lagi menjadi mencintai seluruh alam ciptaan.
Kita temukan dalam Kitab Suci bahwa perbuatan mencintai Tuhan dan sesama menjadi hukum pertama, karena inilah merupakan buah dari iman yang berkembang. Pada waktu orang-orang Farisi ingin mencobai Yesus dengan bertanya,”manakah hukum yang paling utama?”
Yesus dengan tegas menjawab: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dan yang sama dengan itu: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mt 22, 34-40). Pada kedua hukum itulah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi, demikian kata Yesus.
Menghayati semangat para pendiri kongregasi FIC, khususnya Br Bernardus Hoecken dalam konteks ini berarti:
1) Terus-menerus mempertebal iman kita kepada Tuhan yang menjadi asal dan tujuan hidup kita, dengan cara mendengarkan, membaca, merenungkan sabda-sabda-Nya.
2) Mewujudkan iman kita dalam perbuatan kongkret sehari-hari, terutama dengan perbuatan mencintai Tuhan dan sesama manusia, lebih-lebih mereka yang miskin dan berkekurangan. Dengan cara ini kita menjadi “rasul” yang membantu melanjutkan karya penyelamatan umat manusia yang sudah dimulai oleh Yesus sendiri. Kita mencintai sesama mulai dari yang terdekat, yaitu keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita, misalnya rekan kerja, para murid, tetangga dekat, dll.
3) Sesuai dengan tuntutan zaman ini kita diharapkan tidak membatasi diri dengan mencintai sesama manusia saja melainkan seluruh alam ciptaan, termasuk membangun dan memelihara lingkungan hidup yang semakin layak bagi kehidupan ciptaan.
Melalui Perbuatan Sederhana
Mencintai sesama manusia tidak perlu dengan perbuatan-perbuatan besar atau luar biasa. Ibu Teresa dari Calcuta pernah menegaskan bahwa “yang terpenting bukannya besarnya perbuatan kita, melainkan cinta kasih yang menyertai perbuatan itu. Buah doa yang benar adalah cinta, dan buah cinta adalah pelayanan yang tulus.”
Beliau di tempat lain juga mengatakan bahwa “senyuman adalah perbuatan cinta.” Setiap kali kita memberikan senyuman kepada orang yang kita jumpai, kita sudah menaburkan benih cinta. Itu perbuatan yang sederhana, mudah dan murah, tidak perlu biaya. Dari senyuman bisa kita tingkatkan dengan sapaan dan perhatian. “Jangan biarkan orang pergi dari padamu tanpa perasaan yang lebih baik,” demikian nasihat ibu Teresa.
Santo Paulus dalam suratnya kepada umat di Korintus juga memberi pedoman yang cukup jelas tentang perbuatan cinta. Dia memberikan “indikator” yang lebih kongkret dari perbuatan cinta, karena kata “cinta” itu sangat abstrak dan sering diberi arti yang berbeda-beda. Disebutkan di sana bahwa indikator perbuatan cinta antara lain: sabar, murah hati, tidak cemburu, tdak memegahkan diri, tidak sombong, sopan, tidak mencari keuntungan diri, dll (1Kor. 13, 4-6).
Dari sini kita bisa bertanya kepada diri sendiri sejauh mana kita mencintai keluarga dan orang-orang di sekitar kita dengan mengukur misalnya sejauh mana kita sabar dan murah hati kepada mereka.
Bersemangat dan Teguh Hati
Br Bernardus yakin bahwa orang yang memiliki kepercayaan kuat kepada Tuhan tidak akan mudah goyah meskipun dilanda berbagai kesulitan dalam hidup. Dia akan bersemangat dan teguh hatinya. Kualitas seperti ini sangat diperlukan bagi seorang pemimpin. Bayangkan saja jika seorang pemimpin tidak bersemangat dan tidak teguh hatinya, lalu seperti apa jadinya mereka yang dia pimpin. Hal ini sangat sesuai dengan kata-kata St Vincent de Paul, bahwa “sangatlah tidak diuntungkan jika sebuah komunitas religius dipimpin oleh orang yang lemah, yang mudah takut, gelisah dan cemas.”
Semangat hidup dan keteguhan hati kita akan nampak dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih akan diuji waktu kita menghadapi kesulitan hidup. Orang yang banyak mengeluh, menggerutu, berwajah muram dan malas, jelas-jelas merupakan tanda kurangnya semangat dan keteguhan hati. Sebaliknya orang yang rajin, kerja keras, tanpa banyak mengeluh, disertai wajah berseri, merupakan cerminan orang yang penuh semangat. Kualitas seperti inilah yang sangat diperlukan bagi para pemimpin.
Untuk bisa bersemangat kita perlu meningkatkan rasa syukur kita, dan melihat semua hal dari kaca mata yang positif. Jika kita bisa bersyukur mulai dari hal-hal kecil sekali pun: bersyukur untuk hari yang cerah, untuk kesehatan kita, untuk pekerjaan kita, untuk makanan yang kita terima, untuk keluarga, untuk pertemuan dengan sahabat, dll., pastilah hidup ini akan nampak lebih indah.
Penutup
Kita semua pada batas-batas tertentu adalah pemimpin: di dalam keluarga, di tempat kerja, di masyarakat. Sebagai pemimpin kita tidak hanya hidup dan bertanggung jawab bagi diri sendiri melainkan bagi orang lain juga. Oleh sebab itu semangat Br Bernardus perlu menjadi semangat kita juga: percaya kepada Tuihan à mewujudkannya dalam perbuatan kasih yang nyata kepada sesama dan alam ciptaan à dilakukan dengan penuh semangat dan teguh hati.
Maastricht, 12 Desember 2010